Saturday, 3 January 2015

TUGAS 9 ILMU SOSIAL DASAR



TUGAS 9
Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau dilihat dari secara kelompok atau masyarakat, bagaimana kita memahami agama tersebut dalam kehidupan masyarakat?.

Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:
  1. Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
  2. Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
  3. Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
  4. Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.
  5. Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
  6. Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  7. Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
  8. Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi, melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu adalah ibadah.
*Tulisan di atas disarikan dari buku Psikologi Agama, karya Prof. Dr. H. Jalaluddin,  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Contoh Konflik Antar Agama: Contoh konflik agama di Poso
 Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut menadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak  bertanggung jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu. Karena itu persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan bukanlah masalah SARA, tetapi masalah kriminalitas yang dikemas dalam simbol-simbol SARA.
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan  pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan  bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yaang berbeda agama. Pertikaian itu terus  berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis. Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke  pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat. Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber  potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.
a.       Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian  pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi  bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab
konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang  berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai. Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang  bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari  pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh  pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi  penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen. Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi  pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
b.       Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan  berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan  penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh. Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani. Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya. Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat  pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen.
Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan
emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.

Contoh konflik di masyarakat, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
 Perbedaan Tingkat Kebudayaan Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan  budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori  budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah pada kenyataannya merupakan faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama  pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah yang beragama Islam yaitu sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan  pembakaran gedung-gedung ibadah.

No comments:

Post a Comment