TUGAS 9
Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki
oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya
itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan manusia
dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau dilihat dari secara
kelompok atau masyarakat, bagaimana kita memahami agama tersebut dalam
kehidupan masyarakat?.
Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama
membantu kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:
- Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
- Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
- Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
- Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.
- Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
- Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
- Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi, melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu adalah ibadah.
*Tulisan di atas disarikan dari buku Psikologi Agama, karya
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Contoh
Konflik Antar Agama: Contoh konflik agama di
Poso
Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001
dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas
biasa (perkelahian) antara beberapa oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat
berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga mengundang konflik massa
yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya
masalah kriminalitas tersebut menadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya,
tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu
SARA oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan latar belakang
kepentingan tertentu. Karena itu persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan
bukanlah masalah SARA, tetapi masalah kriminalitas yang dikemas dalam
simbol-simbol SARA.
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai
tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember
1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10
Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan
Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25
Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua
pemuda yaang berbeda agama. Pertikaian itu terus berlanjut hingga
mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis. Konflik individual
ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari
korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko
dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat. Terjadinya konflik dan
perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi
konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik,
selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta
ketimpangan sosial. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai
kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.
a.
Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah
karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik
berkaitan dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang
menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief
Patanga akan mengakhiri masa
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai
penyebab
konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah
benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. kepemimpinannya, terlihat
sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan
perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah
hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di
masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief
Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi
Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5
miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus
korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan
aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang
berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat.
Hal itu kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam
dan Kristen. Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang
memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus
terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya
meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan
terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya
di tengah-tengah komunitas Kristen.
b.
Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa
pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa
orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan
pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan
perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso
membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat
dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya
angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan
konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh. Akibat urbanisasi
dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini
menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara
Muslim dan Kristiani. Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan
masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional
yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik
nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat
mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi,
disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya. Umat Islam yang hidup di Poso
tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang
minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci
Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala
gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko
Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah
merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen.
Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang
merupakan pelampiasan
emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal
pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.
Contoh
konflik di masyarakat, antara Suku Aceh dan
Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang
beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan
dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
Perbedaan Tingkat Kebudayaan Agama sebagai bagian
dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya
berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua
kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya
modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu
tempat atau daerah pada kenyataannya merupakan faktor pendorong yang ikut
mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama
pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas
golongan agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk
adalah yang beragama Islam yaitu sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok
yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang
minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa
berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang
Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok
minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran
gedung-gedung ibadah.
No comments:
Post a Comment